Kelas : 1 KA 33
NPM : 15110853
HAKEKAT MANUSIA
· Makhluk ciptaan Tuhan yang terdiri dari tubuh dan jiwa sebagai satu kesatuan yang utuh.
Tubuh adalah materi yang dapat dilihat, diraba, dirasa, wujudnya konkrit tetapi tidak abadi. Jika manusia itu meninggal, tubuhnya hancur dan lenyap. Jiwa terdapat didalam tubuh, tidak dapat dilihat, tidak dapat diraba, sifatnya abstrak tetapi abadi. Jika manusia meninggal, jiwa lepas dari tubuh dan kembali ke asalnya yaitu Tuhan, dan jiwa tidak mengalami kehancuran. Jiwa adalah roh yang ada di dalam tubuh manusia sebagai penggerak dan sumber kehidupan.
· Makhluk ciptaan Tuhan yang paling sempurna, jika dibandingkan dengan makhluk lainnya.
Kesempurnaannya terletak pada adab dan budayanya, karena manusi dilengkapi oleh penciptanya dengan akal, perasaan, dan kehendak yang terdapat di dalam jiwa manusia. Dengan akal (rasio) manusia mampu menciptakan ilmu pengetahuan dan teknologi. Adanya nilai baik dan buruk, mengharuskan manusia mampu mempertimbangkan, menilai dan berkehendak menciptakan kebenaran, keindahan, kebaikan atau sebaliknya. Selanjutnya dengan adanya persaan, manusia mampu menciptakan kesenian. Daya rasa (perasaan) dalam diri manusia itu ada 2 macam yaitu perasaan inderawi dan perasaan rohani. Perasaan inderawi adalah rangsangan jasmani melalui panca indra, tingkatny rendah dan terdapat pada manusia atau binatang. Perasaan rohani adalah perasaan luhur yang hanya terdapat pada manusia misalnya :
1. Perasaan intelektual yaitu perasaan yang berkenaan dengan pengetahuan.
2. Perasaan estesis yaitu perasaan yang berkenaan dengan keindahan.
3. Perasaan etis yaitu perasaan yang berkenaan dengan kebaikan.
4. Perasaan diri yaitu perasaan yang berkenaan dengan harga diri karena ada kelebihan dari yang lain.
5. Perasaan sosial yaitu perasaan yang berkenaan dengan kelompok atau korp atau hidup bermasyarakat, ikut merasakan kehidupan orang lain.
6. Perasaan religius yaitu perasaan yang berkenaan dengan agama atau kepercayaan.
· Makhluk biokultural yaitu makhlik hayati yang budayawi
Manusia adalah produk dari saling tindak atau interaksi faktor-faktor hayati dan budayawi. Sebagai makhluk hayati, manusia dapat dipelajari dari segi-segi atonomi, fisiologi, biokimia, psikobiologi, patologi, genetika, biodemografi, evolusi biologisnya, dsb. Sebagai makhluk budayawi manusia dapat dipelajari dari segi-segi : kemasyarakatan, kekerabatan, psikologi sosial, kesenian, ekonomi, perkakas, bahasa, dsb.
· Makhluk ciptaan Tuhan yang terikat dengan lingkungan (ekologi), mempunyai kualitas dan martabat karena kemampuan bekerja dan berkarya.
Soren Kienkegaard seorang filsuf Denmark pelopor ajaran “eksistensialisme” memandang manusia dalam konteks kehidupan konkirt adalah makhluk alamiah yang terikat dengan lingkungannnya (ekologi), memiliki sifat-sifat alamiah dan tunduk pada hokum alamiah pula.
Sumber : ( Widyo Nugroho dan Achmad Muchji; Ilmu Budaya Dasar ; Gunadarma, Depok Juni 1996. )
Study kasus :
Setiap orang yang merasa unggul pasti mempunyai alasan. Meskipun mungkin perasaannya itu adalah buah dari kecongkakan. Memang benar, kemampuan yang kita miliki harus diaplikasikan dan dipublikasikan pada orangf lain, agar mnereka tahu potensi kita. Masalahnya, interpretasi orang lain akan epengakuan kita mengenai potensi diri kadang tak seperti yang diharapkan. Namun kita harus memungkiri jika kesombongan adalah sifat alamiah manusia, dimana hal itu dapat kapan saja muncul, baiik sengaja ataupun tidak. Biasanya muncul saat kita sedang dalam posisi “diatas”. Maka tak ada salahnya untuki mengungat-ingat kelemahan diri kita dan mengakui keunggulan orang lain, untuki menetralisir “keakuan” diri yang berbuntut kesombongan yang mungkin tidak disengaja.
Ada sebuah kasus, seorang Mahasiswa yabg beridealisme “tinggi” mempunyai pemahaman yang berbeda dengan Mahasiswa umumnya, terutama dalam hal politik. Ia selalu menganggap rendah dan salah pemahaman orang lain akan fenomena politik. Memang kualitas analisanya dapat dikatakan baik jika dibandingkan Mahasiswa lain di Fakultasnya, hal itu karena Ia sangat rajijn membaca buku yang berkaitan dengan filsafat, dan politik. Pada suatu ketika Ia mendebat dosennya mengenai masalah partai politiik di Indonesia, Sang dosenpun merasa kalah. Sebagai dosen yang bijaksana, Ia mengakui analisa Mahasiswa tersebut diatas rata-rata. Begitupun dengan dosen-dosen yang lain juga memberi apresiasi plus terhadap Mahasiswa ini. Tetapi tampaknya Si Mahasiswa ini kurang bisa memahami arti sebuah empati. Ia makin sombong dengan “idealismenya”. Lama-lama dosenpun merasa jengah dengan tingkah lakunya. Walhasil, Ia mendapat nilai C untuik mata kuliah Sistem Politik Indonesia karena dianggap membangkang pada dosen. Pembangkangan yang Ia lakukan adalah dengan sengaja tidak mengumpulkan tugas akhir, yang merupakan sarana untuk menambah nilai. Masalahnya adalah Sang dosen merasa geram dengan tingkah lakunya yang sangat menyepelekan.
Opini :
Kasus diatas adalah fiktif. Meski ada beberapa kasus nyata yang mirip. Dapat kita pahami, kesombongan yang terjadi tanpa kesengajaan dapat menjadi bumerang. Tuhan mengkaruniakan kita otak dan akal budi untuk menjadi makhluk sempurna di dunia ini. Namun kesempurnaan kita hanya sebatas diperbandingkabn dengan hewan dan tumbuhan. Jiak dengan manusia lain, tentu bersifat komplementer. Nah,karena bersifat komplementer seharusnya kita bersyukur ada orang lain, inilah hakikat manusia sebagai makhluk sosial. Menyoal makhluk sosial, sangat kontras dengan perilaku manusia pada kenyataannya. Banyak yang tak menyadari hakikat makhluk sosial. Ironisnya, hal ini terjadi kebanyakan pada kalangan atas yang seharusnya menjadi contoh. Kalngan atas merasa lebih daripada kalngan yang Ia anggap dibaswahnya. Seperti kasus Mahasiswa diatas, suatu saat kalangan yang sombong secara tidak sengaaja pasti akan jatuh karena sesuatu hal yang tidak Ia duga.
Tak heran dalam ajaran agama Hindu, ada ajaran tentang hukum karma. Dalam ajaran Islam ada surga dan neraka.Dan ada falsafah Jawa yang mengatakan aja dumeh. Ajaran tersebut sangat suci tentunya, dan tak perlu diperdebatkan. Karena mengingatkan kita akan pembalasan perbuatan kita. Hikmahnya kita harus selalu sadar akan kelemahan, dan posisi kita sebagai makhluk yang komplementer dengahn makhluk lainnya. Karena perbuatan dosa yang sering dilakukan, adalah perbuatan yang menyakiti orang lain. Jamgan sampai kita merusak hubungan kita yang saling melengkapi dengan orang lain.
Ada sebuah kasus, seorang Mahasiswa yabg beridealisme “tinggi” mempunyai pemahaman yang berbeda dengan Mahasiswa umumnya, terutama dalam hal politik. Ia selalu menganggap rendah dan salah pemahaman orang lain akan fenomena politik. Memang kualitas analisanya dapat dikatakan baik jika dibandingkan Mahasiswa lain di Fakultasnya, hal itu karena Ia sangat rajijn membaca buku yang berkaitan dengan filsafat, dan politik. Pada suatu ketika Ia mendebat dosennya mengenai masalah partai politiik di Indonesia, Sang dosenpun merasa kalah. Sebagai dosen yang bijaksana, Ia mengakui analisa Mahasiswa tersebut diatas rata-rata. Begitupun dengan dosen-dosen yang lain juga memberi apresiasi plus terhadap Mahasiswa ini. Tetapi tampaknya Si Mahasiswa ini kurang bisa memahami arti sebuah empati. Ia makin sombong dengan “idealismenya”. Lama-lama dosenpun merasa jengah dengan tingkah lakunya. Walhasil, Ia mendapat nilai C untuik mata kuliah Sistem Politik Indonesia karena dianggap membangkang pada dosen. Pembangkangan yang Ia lakukan adalah dengan sengaja tidak mengumpulkan tugas akhir, yang merupakan sarana untuk menambah nilai. Masalahnya adalah Sang dosen merasa geram dengan tingkah lakunya yang sangat menyepelekan.
Opini :
Kasus diatas adalah fiktif. Meski ada beberapa kasus nyata yang mirip. Dapat kita pahami, kesombongan yang terjadi tanpa kesengajaan dapat menjadi bumerang. Tuhan mengkaruniakan kita otak dan akal budi untuk menjadi makhluk sempurna di dunia ini. Namun kesempurnaan kita hanya sebatas diperbandingkabn dengan hewan dan tumbuhan. Jiak dengan manusia lain, tentu bersifat komplementer. Nah,karena bersifat komplementer seharusnya kita bersyukur ada orang lain, inilah hakikat manusia sebagai makhluk sosial. Menyoal makhluk sosial, sangat kontras dengan perilaku manusia pada kenyataannya. Banyak yang tak menyadari hakikat makhluk sosial. Ironisnya, hal ini terjadi kebanyakan pada kalangan atas yang seharusnya menjadi contoh. Kalngan atas merasa lebih daripada kalngan yang Ia anggap dibaswahnya. Seperti kasus Mahasiswa diatas, suatu saat kalangan yang sombong secara tidak sengaaja pasti akan jatuh karena sesuatu hal yang tidak Ia duga.
Tak heran dalam ajaran agama Hindu, ada ajaran tentang hukum karma. Dalam ajaran Islam ada surga dan neraka.Dan ada falsafah Jawa yang mengatakan aja dumeh. Ajaran tersebut sangat suci tentunya, dan tak perlu diperdebatkan. Karena mengingatkan kita akan pembalasan perbuatan kita. Hikmahnya kita harus selalu sadar akan kelemahan, dan posisi kita sebagai makhluk yang komplementer dengahn makhluk lainnya. Karena perbuatan dosa yang sering dilakukan, adalah perbuatan yang menyakiti orang lain. Jamgan sampai kita merusak hubungan kita yang saling melengkapi dengan orang lain.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar